TIGA FONDASI MEMAHAMI MODERASI BERAGAMA

Seksi PAIS Kemenag Kab. Blitar Toleransi merupakan hasil yang diakibatkan oleh sikap moderat dalam beragama, ibarat dalam sebuah alur produksi, moderasi merupakan prosesnya sedang toleransi sebagai hasil produksinya. Demikian kata Drs. H. Moh. Rosyad, M.Si, Kepala Seksi Pendidikan Agama Islam (PAIS) Kantor Kementerian Agama Kabupaten Blitar, yang disampaikanya saat menjadi pemateri “Memantapkan moderasi beragama pada mahasiswa untuk mewujudkan generasi rahmatan lil alamin” pada pengenalan budaya akademik dan kemahasiswaan (PBAK) Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Kediri, Sabtu 9 september 2023.

Lebih lanjut Rosyad menjelaskan bahwa, toleransi adalah  sifat atau sikap menghargai,  pendirian, pendapat, kepercayaan orang lain atau yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri.

Seorang moderat bisa jadi tidak setuju atas suatu tafsir ajaran agama yang diyakini kebenarannya oleh kelompok tertentu, akan tetapi ia tidak menyalahkannya, walaupun keyakinan tersebut berbeda dengan pendapatnya. Biarpun ia mempunyai keperpihakan atas suatu tafsir agama, akan tetapi ia tidak memaksakannya keyakinannya tersebut agar berlaku untuk orang lain.

Moderasi berasal dari kata Moderatio (latin) : ke-sedang-an, tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Moderation (inggris); sikap tidak berlebih-lebihan atau sedang, diserap menjadi moderasi, dalam (KBBI) mempunyai dua pengertian,  Pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Moderat (orang yang lunak) menghindarkan perilaku yang ekstrem dan berkecenderungan kearah dimensi jalan tengah, lawan katanya moderat adalah ekstrim (tatharruf,  ghuluw) yaitu “berlebih-lebihan dalam beragama”.

Dalam bahasa arab, moderasi dikenal dengan kata “Wasath” atau “wasathiyah”,(Q.S. Al-Baqarah/2:143) diserap kedalam bahasa indonesia menjadi “wasit”yang sepadan dengan kata “tawassuth” artinya tengah-tengah, “i’tidal” artinya adil, dan “tawazun” artinya berimbang, semakna dengan kata Moderator”:  yang menuntut harus adil dan berimbang.

Menurut Rosyad, memahami konsep moderasi beragama bagi generasi muda adalah sangat penting, mengingat pluralitas agama dan paham keagamaan yang ada di indodesia. Karena pluralitas disamping bisa menjadi kekuatan, juga bisa menimbulkan keretakan bila tidak dimanage dengan baik, karena masing-masing pemeluk agama mempunyai klaim atas tafsir kebenaran agamanya masing-masing, yang klaim kebenaran tersebut juga terjadi di dalam kelimpok-kelompok yang ada dalam suatu agama. Karena itu, harus dicarikan solusinya “How to manage diversity” (bagaimana memanage kegeragaman) dan Moderasi beragama sebagai perekat kehidupan berbangsa merupakan jawabanya.

Mengutip pendapat Hans Kung; “No dialogue between the religious without investigation of the fuondation of the religions” (tidak ada dialog antar agama tanpa penyelidikan tentang fondasi agama-agama), maka budaya toleransi hanya akan bisa diwujudkan bila masing-masing pemeluk agama mendalami agamanya masing-masing, karena toleransi itu tidak mencampur adukkan ajaran agama.

Toleransi itu harus murni, tidak boleh mencampur adukka ajaran agama yang satu dengan ajaran agama yang lain, bila dicampur adukkan, maka  ajaran agama tersebut akan menjadi kabur dan tidak jelas. Kita umat islam mempunyai keyakinan bahwa agama islam adalah satu-satunya agama yang paling benar di dunia ini, namun kita harus sadar bahwa disekitar kita juga ada orang yang mempunyai agama yang tidak sama dengan  agama kita, dan mereka juga berkeyakinan bahwa agama mereka yang paling benar.

Lebih lanjut Rosyad menjelaskan, bahwa dalam mempelajari ajaran agama, kita harus radikal, dalam arti sampai ke pokok-pokok ajaranya, agar kita mempunyai pemahaman, bahwa ajaran agama sesungguhynya sangat toleran dan moderat (tidak ekstrim), yang tidak toleran dan tidak moderat adalah pemahaman umatnya, bukan ajaran agamanya, sebagaimana dijelaskan dalal Q.S. Al-Baqarah : 143.

Karena itu agama tidak perlu dimoderasisebab agama itu sendiri telah mengajarkan prinsip moderasi, keadilan, dan keseimbangan. Jadi bukan agamanya yang harusdimoderasi, melainkan cara menganut agama dalam menjalankan agamanya itulah yang harus dimoderasi. Tidak ada agama yang mengajarkan ekstremitas, namun tidak sedikit orang yang menjalankan ajaran agama berubah menjadi ekstrem.

Ada tiga fondasi yang harus dipahami dalam memaknai moderasi beragama; Pertama; Agama, yang merupakan aktualisasi dari kepercayaan tentang adanya kekuatan supranatural, bersifat Ghoib, yang dikonsepsikan sebagai Tuhan, karena itu pokok dari semua agama adalah kepercayaan tentang adanya Tuhan, namun narasi tentang  siapa itu Tuhan, ada beraneka ragam.

Sedang Agama Islam adalah agama yang bersumber dari Allah dan telah dijelaskan oleh RosulNya. Agama itu sudah sempurna, tidak boleh ditambah atau dikurangai. (Q.S. Al-Maaidah/ 5: 3);  Rukun Islam, rukun iman (tidak boleh dimoderasi).

Kedua; Ilmu Agama, yang lahir dari pemahaman seorang ahli agama terhadap ajaran agama, seperti pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Hambali, yang masing-masing mempunyai pendapat dan  menjelaskan ilmu agama sesuai dengan yang beliau fahami dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ilmu agama lahir sesudah lahirnya Agama. Kalau agama sudah sempurna, maka ilmu agama masih terus berkembang sampai sekarang, dan berpotensi timbulnya perbedaan pemahaman karena perbedaan sudut pandang, perbedaan pengalaman dan keterbatasan panca indera, dll.

Yang ketiga; Beragama, yaitu praktek seseorang menyangkut agama dan ilmu agama. Sholat itu agama, ada penjelasan tentang sholat.  Penjelasan tentang sholat merupakan ilmu agama, yang disampaikan oleh ulama yang mempelajari sholat. Karena berbeda sudut pandang dan pemahaman, maka lahirlah perbedaan pendapat; seperti membaca basmalah, qunud, mengerakkan jari saat tahiyah dll. Ujar Rosyad.( Moh. Rosyad)

Ed: Ax

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top